Gagal Masuk Sekolah Negeri, Lalu Harus ke Mana? Kegelisahan yang Tak Kunjung Dijawab

Ilustrasi Kabar Newsline

KABARNEWSLINE –Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2025/2026 kembali menyisakan tanya. Sejumlah calon siswa yang sudah bersemangat ingin melanjutkan pendidikan justru harus menerima kenyataan pahit: tidak lolos seleksi, meskipun mereka merasa sudah memenuhi syarat, baik dari segi domisili maupun nilai akademik.

Ironisnya, hingga pengumuman selesai pun, tidak ada kejelasan resmi mengapa mereka tidak diterima. Yang muncul hanyalah daftar nama yang lolos, tanpa rincian alasan bagi yang gugur. Pertanyaan pun bermunculan di kalangan orang tua dan masyarakat: Jika tidak lolos, lalu anak-anak ini harus ke mana? Apakah sekolah negeri sudah menjadi hak yang makin sulit diakses?

Dalam suasana pendidikan yang seharusnya inklusif, kondisi ini justru menghadirkan ketimpangan. Sistem PPDB online yang digadang-gadang sebagai bentuk transparansi dan pemerataan akses justru memunculkan kebingungan dan kecemasan baru.

Padahal, pendidikan adalah hak dasar anak-anak Indonesia yang dijamin oleh konstitusi. Sayangnya, di lapangan, tidak semua anak bisa merasakannya dengan mudah.

Beberapa orang tua yang anaknya tidak lolos bahkan mengaku tidak tahu harus berbuat apa. “Anak saya ingin sekolah. Kami siap dukung. Tapi tak tahu lagi harus mendaftar ke mana. Swasta mahal, negeri tak lolos. Apa solusinya?” ungkap seorang warga Tanjungpinang-Kepri saat ditemui wartawan media ini.

Sementara itu, pilihan seperti menunggu gelombang kedua, mencari sekolah swasta, hingga mengajukan klarifikasi ke Dinas Pendidikan memang terbuka, namun tidak semua orang tua memiliki akses, pemahaman, atau kemampuan ekonomi untuk segera mengambil langkah tersebut.

Di sisi lain, belum terlihat adanya tindakan aktif dari instansi terkait untuk mendampingi atau memfasilitasi anak-anak yang tidak lolos. Tak sedikit yang justru seperti “dibiarkan tersingkir” oleh sistem, tanpa pendampingan psikologis maupun informasi lanjutan yang jelas.

Diharapkan negara dan pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, dan jika sistem digital menyisakan korban, maka sistem itu perlu ditinjau ulang dan diperbaiki.

Pertanyaannya sekarang bukan sekadar siapa yang lolos, tapi bagaimana dengan yang tidak? Apakah mereka harus diam dan menerima nasib? Atau negara mau hadir memberi solusi?

Posting Komentar

0 Komentar