KABARNEWSLINE —Sejumlah persoalan yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM Wilayah Kepulauan Riau kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi pengayoman.
Mulai dari dugaan penyelewengan administrasi perjalanan dinas di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Tanjungpinang hingga dugaan kekerasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Narkotika Tanjungpinang
Semuanya memperlihatkan potret buram tata kelola lembaga yang seharusnya menjadi contoh penegakan hukum dan kemanusiaan.
Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tetapi sudah mengarah pada persoalan moralitas dan integritas aparatur negara.
Ketika pengayoman yang seharusnya menjadi simbol pembinaan justru diwarnai dugaan intimidasi dan penyimpangan anggaran, maka yang tercoreng bukan hanya nama individu, melainkan citra lembaga pemasyarakatan secara keseluruhan.
Salah satu kasus yang menimbulkan tanda tanya besar adalah dugaan SPPD fiktif di Bapas Kelas I Tanjungpinang.
Dokumen perjalanan dinas yang beredar memperlihatkan kejanggalan, di mana pejabat pemberi perintah dan pelaksana kegiatan tercatat merupakan orang yang sama.
Praktik seperti ini jelas menciderai prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Ironisnya, hingga kini tidak ada langkah korektif yang terlihat dari pihak Kantor Wilayah Kemenkumham Kepulauan Riau.
Sikap diam dan tanpa klarifikasi resmi justru menimbulkan kesan adanya pembiaran sistematis, seolah persoalan tersebut dianggap sepele padahal berpotensi mencoreng kredibilitas lembaga.
Belum reda kasus di Bapas, publik kembali dikejutkan oleh laporan mengenai dugaan pemukulan terhadap WBP oleh oknum Kepala Lapas Narkotika Tanjungpinang.
Peristiwa itu disebut bermula dari razia telepon genggam di dalam blok tahanan, namun berujung pada tindakan yang diduga berlebihan dan tidak manusiawi.
Jika benar terjadi, perbuatan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yang menegaskan bahwa setiap warga binaan berhak mendapatkan perlakuan manusiawi, serta larangan mutlak atas segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis.
Kejadian ini tidak hanya mencoreng nama baik pribadi pelaku, tetapi juga menyakiti citra lembaga pengayoman yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan pembinaan.
Rangkaian permasalahan tersebut menimbulkan dampak luas. Kepercayaan publik terhadap lembaga pemasyarakatan semakin terkikis, bahkan muncul anggapan bahwa pengawasan internal hanya berjalan di atas kertas.
Ketika lembaga yang semestinya menjadi simbol pembinaan justru dilingkupi dugaan penyimpangan dan kekerasan, maka keutuhan nilai “Pengayoman” berada di ujung tanduk.
Jika tidak segera direspons secara serius, kondisi ini dapat memicu krisis kepercayaan yang lebih dalam dan menurunkan martabat lembaga di mata masyarakat.
Melihat situasi yang terus memburuk, Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dan Kementerian Hukum dan HAM RI tidak bisa lagi bersikap pasif.
Pusat harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran di wilayah Kepulauan Riau mulai dari Kepala Kanwil, Kepala Bapas, hingga Kepala Lapas Narkotika Tanjungpinang.
Langkah tegas ini penting untuk mengembalikan marwah institusi pengayoman, sekaligus membuktikan bahwa Kemenkumham tidak menoleransi segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran etika di internalnya.
Pembiaran hanya akan memperdalam luka dan memperburuk citra lembaga yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Kini, publik menunggu bukti nyata: apakah Ditjen PAS dan Kemenkumham RI benar-benar menjaga kehormatan lembaga atau justru membiarkan noda itu menempel semakin dalam.


0 Komentar